Minggu, 06 September 2015

Pecel Mbok Djo Jl Kalimantan

Sejak tahun 1973, Pecel Mbok Djo Jl Kalimantan ini hingga kini tetap menjadi jujukan warga Malang hingga luar kota. Sempat berpindah tempat hingga tiga kali, tapi pelanggannya tetap setia. Bumbu pecel resep asli Mbok Djo alias Galia ini pernah dibawa hingga 10 kg ke istana negara.
Pecel Mbok Djo ini merupakan usaha yang dirintis oleh (alm) Djolowo dan istrinya (alm) Galia. Pasangan suami-istri ini dari Blitar, yang pada tahun 1970-an merantau ke Kota Malang. Saat merantau ke Kota Malang, sepasang pasutri ini tidak memiliki pekerjaan hingga mereka memutuskan untuk membuat usaha kuliner pecel berbumbu khas di Blitar.
Salah satu kerabat penerus usaha kuliner legendaris ini, Anton Sugiyono, 37, awalnya Galia alias Mbok Djo dan suaminya berdagang dengan cara nyuwun (membawa barang di atas kepala) barang dagangannya di kawasan jalan kepulauan. Sejak awal berjualan, penggemar dari usaha kuliner ini berasal dari warga di sekitar Lapangan Sampo Kota Malang.
Sekitar tahun lima tahun pada 1972 hingga 1977, pasangan ini menjajakan dagangan ini dengan cara keliling dengan barang dagangan disunggi (di atas kepala). Sekitar tahun 1977, mereka berdagang di sekitar Jalan Saparua, Kota Malang. Sudah tidak lagi berkeliling, tapi juga masih belum memiliki lapak secara permanen. Berjualan di lokasi ini dilakukan hingga tahun 1989. Mereka berdua memutuskan untuk berjualan secara permanen di lokasi yang sekarang dan tidak pernah berpindah tempat hingga kini.
Pada 2006 sempat buka cabang di kawasan Griya Shanta Soekarno-Hatta. Namun, terpaksa tutup pada tahun 2008 karena pemilik lahannya berencana untuk menjual lahan. Menantu dari Mbok Djo atau penerus generasi kedua, Solikhah, 42, yang merupakan istri dari anak pendiri, H Marzuki mengatakan pada awal berdiri, Pecel Mbok Djo ini hanya beroperasi pada Rabu, Sabtu, dan Minggu saja.
Di luar hari itu, tidak berjualan. Alasannya, karena tenaga dua orang saja tidak mencukupi jika harus berjualan setiap hari. Akhirnya, pada tahun 2001, pecel ini bisa beroperasi setiap hari. ”Sejak saya yang mengambil alih, buka setiap hari. KarenaAlhamdulillah tenaganya mencukupi,” ujar Anton.
Sekarang usaha kuliner ini buka setiap hari kecuali Senin. Mulai dari pukul 05.30 hingga pukul 13.00. Pecel nikmat ini tidak pernah surut dari pengunjung. Bahkan, ketika sudah bukan jam sarapan pagi. Dulu berdiri hingga sekarang sudah eksis dengan membuka cabang di kawasan Sawojajar, penyajian pecel ini tetap menggunakan daun pisang yang dipincuk. Padahal, jika ingin praktis bisa dengan menggunakan kertas minyak saja. Namun rupanya, penyajian dengan daun pisang pincuk ini merupakan wasiat dari Mbok Djo. Sehingga penerusnya tetap menggunakan daun pisang. ”Karena sudah menjadi ciri khas dari warung ini. Jadi, kami tetap konsisten menggunakannya,” imbuhnya.
Sementara itu, Anton mengatakan, meskipun daun pisang susah didapatkan di pasaran karena musim kemarau, warung ini tetap menggunakan daun pisang. Bahkan, sampai harus mencari sendiri hingga ke daerah Wonokoyo, Kecamatan Kedungkandang. ”Kami meminta bantuan dari para kerabat, agar penyajian dengan daun pisang ini tetap terjaga meskipun ketersediaan daun sangat terbatas,” ujarnya.

rate 4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar