Minggu, 06 September 2015

Lalapan Pak Yanto Simpang Mega Mendung

Awalnya hanya coba-coba mencari peruntungan usaha warung, ternyata usaha yang dirintis Yanto, 56, kini banyak pelanggannya. Berbekal keahlian istrinya (Alm) Sulastri yang pandai memasak, warung lalapan yang berlokasi di Jl Simpang Mega Mendung ini digemari karena sambalnya yang mantap.

Sebelum buka warung makan lalapan, Yanto merupakan seorang tukang bangunan. Setiap hari kerjanya di proyek pembangunan rumah maupun gedung. Sedangkan (Alm) Sulastri istrinya hanya ibu rumah tangga biasa.
Hanya saja, sejak kecil, (Alm) Sulastri di lingkungan keluarganya dikenal pandai memasak. Terlebih membuat sambal sebagai pendamping lauk hidangan makan keluarga. Berbekal keahlian membuat sambal itulah, Yanto pun mendorong istrinya untuk mencari peruntungan baru membuka warung makan.
Terlebih di sekitar rumah mereka, banyak mahasiswa Unmer Kota Malang yang kos. Peluang usaha itu pun coba dijajaki oleh Yanto dan (Alm) Sulastri. ”Saya gunakan rumah mertua yang memiliki dinding dari anyaman bambu. Tidak besar tetapi bisa menampung pembeli,” kata Yanto.
Melihat hari pertama berjualan banyak peminatnya, Yanto pun memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya yang lama. Dia pun mulai membantu istri berjualan di warung. Hingga tahun 1997, krisis pun mulai melanda Indonesia. Semua bahan baku mulai merangkak naik.
Warung makan di Jl Simpang Mega Mendung No 39 Kelurahan Pisang Candi, Kecamatan Sukun, Kota Malang, memang tampak sederhana. Hanya sebuah ruangan yang berisi enam meja panjang dari kayu berjajar di dalamnya. Di setiap meja terdapat kursi plastik yang disiapkan di samping meja.
Yang membedakan dengan warung lainnya adalah pengunjung yang datang. Mulai pukul 08.00 hingga pukul 17.00, kondisi warung tidak pernah sepi. Selalu saja ada yang datang silih berganti untuk menyantap menu yang tersedia.
Mulai ikan lele goreng, ayam goreng, dan tempe goreng. Tiga menu itulah yang dijual oleh pemilik warung sejak 1993. ”Menunya hanya tiga macam sejak tahun 1993. Semuanya jenis lalapan. Terus kami pertahankan hingga sekarang. Pelanggan juga banyak yang suka dengan sambal kami yang beda. Kata orang, lebih mantap dibandingkan warung lainnya,” kata Yanto, 56, pemilik warung Simpang Mega Mendung.
Khusus sambal di warung lalapan milik Yanto, memang diracik sendiri oleh (Alm) Sulastri istrinya. Kala itu, Sulastri memilih terasi Pacitan, alasannya cita rasanya lebih kuat. ”Hingga sekarang, kami tetap memakai terasi khas Pacitan untuk mempertahankan kualitas rasa sambal,” ujar dia.
Satu porsi lalapan yang dulunya seharga Rp 500 harus dinaikkan karena menyesuaikan harga bahan baku. Saat itulah warung pun mulai sepi. Namun, Yanto dan istrinya optimis warungnya akan terus berkembang. ”Saya dibantu oleh saudara di sini. Hingga sekarang masih tetap banyak pelanggannya yang datang,” jelas Yanto.
Walau terus berkembang, Yanto tidak memiliki niatan untuk mengembangkan usahanya. Tetap berjualan di tempat yang sama. Terlebih sejak tahun 2008, bangunan warung sudah diganti dengan bangunan baru. Tidak lagi berdinding anyaman bambu tetapi sudah dari tembok.
Para pelanggan pun juga sudah merasa nyaman. Walau terlihat sederhana, banyak pelanggan dari dalam maupun luar kota yang datang. ”Kalau sudah merasakan sambal di sini, pasti akan datang lagi,” urai Yanto.
Dulu omzet per harinya dari hanya Rp 300 ribu kini melonjak hingga Rp 1,6 juta per hari. Jumlah pengunjung selalu meningkat saat akhir pekan, begitu juga saat hari libur.
rate bintang 3.6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar