Minggu, 06 September 2015

Angsle Pak Solikin

Warung sederhana milik Solikin, 73, dengan gerobak dorong di Pasar Polehan, Blimbing, Kota Malang, menjadi pilihan utama bagi pecinta kuliner jajanan tradisional. Berdiri sejak 39 tahun silam, warung ini tak pernah sepi pengunjung. Angsle ini beraroma harum khas pandan karena masih memakai bahan bakar arang dan resep keluarga tetap dipertahankan.  
Tatanan Warung Pak Solikin sangat sederhana. Ada dua set bangku meja kursi dari kayu berukuran sekitar 1,5 meter yang tersedia di sana. Meja itu tampak penuh oleh pembeli angsle. Anak kedua dan ketujuh Solikin yakni Suraji, 48, dan Rudi Kurniawan, 34, tampak cekatan melayani seluruh pelanggan, baik yang ingin makan di warung maupun sekadar dibungkus untuk dinikmati di rumah masing-masing.
Beberapa pelanggan setia terlihat cukup akrab dengan pemilik warung. Mereka pun tak segan ikut bersenda gurau sembari menikmati sajian angsle maupun ronde. Hanya ada sedikit jarak tempat pembeli makan di warung dan penjual angsle. ”Ayah bilang, kami tak boleh mengecewakan pelanggan. Itu yang selalu kami pegang saat melayani pembeli,” jelas Rudi.
Suraji menuturkan, awal mulanya warung angsle ini buka karena tidak sengaja juga tidak ada rencana. Sebelum tahun 1976 silam, bapaknya tidak menjual angsle dan ronde. Saat itu, Solikin tengah menggeluti usaha reparasi sepeda dan rombengan di Jalan KH Ahmad Dahlan, Kudusan, Kota Malang.
Mengapa pindah? Dia menjelaskan kala itu ayahnya, Solikin mendapat tawaran dari tetangga bernama Kusmana (almarhum) untuk menggantikan rombong angsle sekaligus tempat berjualannya. ”Si pemilik saat itu sudah tua, sakit-sakitan, sementara anak-anaknya nggak ada yang mau meneruskan,” ujar Rudi.
Entah apa yang ada di benak Solikin kala itu, dia langsung mengiyakan tawaran tersebut dan dibelinya seharga Rp 125 pada tahun 1976. Sang ayah pun diberi resep angsle lengkap agar rasa asli angsle tidak berubah.
”Sejak itu, resep angsle dari Pak Kusmana tetap dipakai, pelanggan lama Pak Kusmana pun kala itu juga merasakan cita rasa angsle buatan ayah, sama. Bahkan, kata pelanggan jauh lebih enak. Hingga kini saya juga mendapatkan warisan resep angsle itu, dan saya tidak berani mengubahnya,” papar Suraji.
Awal membuka usaha tak semulus yang dibayangkan. Sementara, usaha bengkel reparasi sepeda onthel pun sudah ditinggalkan Solikin. Saat minggu-minggu awal, warung yang buka mulai pukul 18.30 hingga dini hari itu hanya mampu menjual 10 hingga 15 mangkuk angsle saja. Lalu, sisa angsle yang masih banyak sampai diberikan gratis ke para tetangga sekitar rumah.
Namun, Solikin pantang menyerah. Secara bertahap dia menekuni usaha warung angsle itu dengan sabar dan tawakal. Hingga akhirnya, angsle buatan Solikin dan sang istri mulai banyak dilirik pembeli, tidak hanya pelanggan lama penjual angsle sebelumnya. Dari semula hanya bermodal 3 hingga 5 biji kelapa seharinya, sekarang mampu menghabiskan lebih dari 10 biji kelapa. Atau sekitar 150 mangkuk angsle mampu dijualnya sekali buka. Harganya pun relatif murah yakni Rp 4 ribu. ”Dulu pertama kali buka hanya seharga Rp 15 saja per satu mangkuknya,” ujarnya.
rate bintang 3,2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar