Minggu, 06 September 2015

Nasi Buk Madura gang semarang, Pasar Besar

Atas kemurahan hati seorang pelanggan yang beretnis Tionghoa, Yuk Ging Seng, pada tahun 1947, (alm) Nuriyah berjualan Nasi Buk khas Madura. Lokasinya di mulut gang Semarang. Kelezatan dari nasi buk bikinan dari (alm) Nuriyah ini memikat hati pelanggan sejak lama. Kini Warung Nasi Buk ini dikelola generasi ketiganya, yakni cucu Nuriyah yang bernama Mustain.
Warung yang berada di Jl Pasar Besar Gang Semarang, Kota Malang itu sejak awal berdiri pada 1947 silam sudah akrab disebut sebagai Warung Nasi Buk Gang Semarang. Suatu hari, seorang pelanggan setia, (alm) Yuk Ging Seng mengarahkan Nuriyah agar berjualan di mulut Gang Semarang. ”Yuk Ging Seng merasa kasihan karena setiap hari melihat Nuriyah berjalan kaki menjajakan dagangannya. Dulu jualannya di sekitar Pasar Besar saja. Kemudian oleh Pak Yuk Ging Seng diberi tempat di Gang Semarang itu. Karena kasihan dengan Bu Nuriyah,” ujar Suyono, kerabat Nuriyah yang sudah lama membantu di warung.
Karena mangkal di mulut Gang Semarang, maka dari itu tidak heran jika namanya adalah Nasi Buk Gang Semarang. Menurut penerus generasi ketiga alias cucu dari Nuriyah, Mustain, neneknya ini berjualan di Gang Semarang ini mulai dari tahun 1947 hingga tahun 1987. Selama 20 tahun tetap eksis berjualan di sana. ”Kemudian pindah ke warung sini (Jl Zaenal Arifin) karena tempat itu sudah dibeli oleh orang lain. Dulu hanya menempati saja tidak dikenakan biaya sewa,” beber Mustain, cucu (alm) Nuriyah.
Mustain berkisah, dulu neneknya hijrah ke Malang dari Bangkalan, Madura. Sebab, sekitar tahun 1941, daerah yang ditempati neneknya, Bajemen dibuat latihan berperan oleh Belanda. Akhirnya, neneknya dan keluarga  mengungsi ke wilayah Malang. Sebelum mengungsi di wilayah Malang, diceritakan oleh Mustain, neneknya ini sudah berjualan nasi buk di Bangkalan sana dan berjualan di Malang pada 1942. ”Resep yang didapatkan oleh nenek saya berasal dari ibunya atau buyut saya, Marlangen atau yang lebih dikenal dengan nama Hj Fatimah,” kata warga Kebalen ini.
Hingga kini, resep yang digunakan oleh Nasi Buk Gang Semarang ini bisa dikatakan tidak hanya berusia 73 tahun, tapi diprediksikan lebih dari 80 tahun. Sebab, sudah mulai diajarkan dan diturunkan mulai dari nenek buyutnya. Sebab, Mustain, cucu sang pendiri warung mengatakan, rasa yang nikmat ini adalah resep dari buyut yang diturunkan kepada neneknya. Lalu diturunkan lagi pada ibu Mustain yakni Siti Aisyah, sang generasi kedua. Akhirnya estafet kuliner legendaris ini diteruskan oleh Mustain. ”Tetap saya pertahankan hingga sekarang. Resep turunan dari buyut saya ini,” tandas dia. Bukan hanya Suyono, Mustain juga sangat piawai melayani pelanggan. Tangannya seolah-olah memiliki mata, setiap porsi dari nasi buk yang dipesan oleh pelanggannya, disajikan secara cepat dan tepat. Mulai dari memberikan nasi putih yang punel dan harum, sayur lodeh yang terdiri dari dua jenis sayur yakni rebung dan nangka muda alias tewel, serundeng kelapa, dendeng manis, kebuk kering, bali tahu, dan yang paling spesial, sambalnya yang nendang rasanya. Secara kilat, laki-laki berusia 64 tahun ini mampu menyajikan sepiring nasi buk campur yang tidak hanya nikmat. Namun, juga memiliki porsi yang banyak. Aktivitas itu biasa terlihat di Warung Nasi Buk Gang Semarang di Jalan Zaenal Arifin, Kota Malang.
Di sela-sela kegiatannya meracik sepiring nasi buk pesanan pelanggannya yang selalu mengalir. Suyono berkisah, bahwa dulu sekitar tahun 1942, Nuriyah sudah berjualan nasi buk. Namun bukan Nasi Buk Gang Semarang namanya. Sebab, masih belum menempati warung kecil di mulut gang sempit yang ada di sekitar wilayah Pasar Besar Malang ini. ”Dulu berjualannya dengan cara dijajakan berkeliling dengannyuwun (membawa barang di atas kepala). Selama sekitar 5 tahun nyuwun dagangan,” bebernya menggunakan logat Madura yang masih kental. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar