Minggu, 06 September 2015

Pecel Kawi

pecel kawi
Berdiri sejak tahun 1975, Pecel Kawi ini bisa dibilang merupakan salah satu ikon Kuliner Legendaris yang ada di kota Malang. Pecel Kawi, dinamakan demikian karena rumah makan yang menjual menu utama nasi pecel ini terletak di Jalan Kawi.
Tepatnya yakni di Jalan Kawi Atas nomor 43B/46, Kota Malang. Apalagi, kualitas citarasa khas pecel yang sudah diwariskan secara turun temurun, telah banyak dikenal di saentaro Negeri ini. Bumbu khas pecel yang sangat gurih dan lezat menjadikan citarasa yang menarik.
bintang 3

Bakso Presiden

bakso president
Bakso President berawal dari kegigihan dan keuletan Bapak H. Abd. Ghoni Sugito. Beliau berjualan bakso sejak tahun1977, waktu itu masih menjadi penjual bakso pikul keliling yang bahannya diambil dari orang lain. Rekan-rekannya sesama penjual bakso keliling biasanya paling laris bisa mendapatkan Rp 3.500 dalam seharinya, tetapi Pak Sugito ini dapat menghasilkan sampai Rp 10.000. Itu karena bahan yang diambil dari juragannya dimodifikasi terlebih dahulu sehingga mendapatkan cita rasa yang istimewa. Akhirnya terkumpullah modal untuk mandiri.
Pada tahun 1980, beliau sudah memiliki 15 gerobak keliling. Usahanya semakin maju dan akhirnya dimulailah untuk berjualan menetap. Awalnya dengan warung tenda di Pasar Senggol (Pasar Burung sekarang) pada tahun 1983. Kemudian karena lokasi itu terkena proyek bangunan, lokasi berjualan diputuskan pindah ke tempat lain. Dengan pertimbangan mencari lokasi yang ramai pengunjungnya maka dipilihlah berjualan di belakang Bioskop President (Mitra 2 Departement Store sekarang). Itulah makanya usaha Beliau dinamakan Bakso President.
rate bintang 4

Soto Daging P. Markeso, Soto Gerobak Legendaris di Malang



Ada banyak tempat yang bisa dijadikan sebagai destinasi wisata kuliner di Kota Malang. Baik yang terkenal maupun gak ada yang kenal, baik tempatnya gede maupun cuma lesehan pinggir jalan, baik buka dari jaman tahun gak enak maupun yang baru aja buka tapi tunggu tahun depan. Kali ini saya bakal ngasih referensi nih buat kamu yang tinggal atau yang lagi singgah di Malang, terutama yang lagi bingung pengen makan apa hari ini atau mau sekedar wisata kuliner. Adalah "Soto Daging Pak Markeso" *aplause.

Seperti namanya, yang dijual pak markeso itu soto daging. Jadi kalo kamu mau nyari soto ayam caranya kamu tangkap ayam sendiri di deket kamu lalu kamu kasih ke pak markeso bisa gak dia masakin ayam buat dijadiin soto ayam. kalo gak bisa, apalagi udah terlanjur ditangkep yaudah kasih ke KFC aja, terus minta KFC bikinkan soto ayam. Oke kembali ke kipot, eh topik maksudnya, Soto daging yang dijual itu termasuk "soto duro", artinya soto khas Madura (boso inggris'e madura iku yo meduro/duro) dengan taste dan selera khas "meduro ta'iyeh". Kebetulan tadi pas pulang ngampus di UB sama temen dikasih referensi soto daging, karena penasaran belum pernah kesana akhirnya berangkatlah kita.

Oke langsung aja apalagi yang baca udah pada ngiler, tempat gerobak Soto Dagingnya Pak Markeso ini berada di Jl. Sindoro. Gak jauh dari Jalan Ijen kok. Buat yang gak tau arahnya langsung cekidot :





























Kalau kamu dari UB, atau UM, ITN, Matos, pokoknya dari daerah Sumbersari, kamu lewatin Jalan Bandung dulu ke arah timur, kemudian sampai di bundaran perempatan belok kanan masuk Jalan Terusan Ijen. Lurus masuk aja sampai ketemu jalan dua jalur Jalan Besar Ijen, kemudian lurus sebelum mentok di pertigaan lampu merah, ada jalan di sebelah kiri dan itulah Jalan Sindoro, tempat mangkalnya Pak Markeso bertempur melawan penjajah, eh, jual soto daging. Atau dari pertigaan Jalan Kawi dan Jalan Kawi Atas (terutama dari MOG), cukup masuk Jalan Besar Ijen aja kemudian belok turning area pertama sebelah kanan dan lurusnya langsung Jl. Sindoro.

Menurut yang nulis cerita ini sih, berhubung saya gak tau mana makanan enak atau gak enak jadi ya sama aja :D jadi tergantung selera masing-masing. Kalo kurang asin ya tinggal kasih garam. Kalo kurang asem ya cari pohon asem terdekat sendiri. Koya nya juga ada, ada telor asin, buat kerupuk lovers juga gak usah takut pasti ada kerupuk, kalo belum habis. Bahkan disediakan Aq*a juga.

Karena saya orangnya kepoan, tak tanya sama Pak Markeso tadi, udah berapa lama jualan disini pak? Jawabnya, wah udah dari tahun gak wenak mas. Udah lebih dari 50 tahun saya jualan di tempat ini. Udah lama kan? Mama sama bapak kamu udah lahir belom tuh? Bahkan mungkin dari jaman orang Belanda masih stay disitu makan soto dagingnya pak markeso itu ya tempatnya disitu-situ aja, dengan gerobaknya. Karena tempatnya di sekitar perumahan eks Belanda, Idjen Boulevard, jadi suasananya teduh banget kalo berteduh di bawah pohon. Tak jarang orang keturunan IT alias Indonesia-Tiongkok (Cina) yang makan disitu. Bahkan ada seorang Cina juga yang dateng bawa Subaru Impreza sedan warna putih makan disitu sekaligus bungkus bawa pulang ke rumah. Ya dagingnya lah, masa gerobaknya, atau pak markeso nya.

Soal harga? Katanya kalau soto daging semangkok + aq*a cuma 9 ribu doang. Kebetulan tadi saya beli soto campur+koya banyak+telor asin+sambel pedes+kerupuk+aq*a+mangkoknya,cuma 12 ribu doang. Hebat kan murahnya?

Jadi pantaslah dibilang Soto Daging Pak Markeso itu soto daging legendaris di Kota Malang.


Soto daging campur pak Markeso+Kerupuk, source Foursquare






















Suasana Soto daging pak markeso yang gue foto sendiri tadi.








Soto Babat Pak Mujianto, Desa Slorok, Kromengan, Kabupaten Malang

Sejak 25 tahun yang lalu, Soto Babat Pak Mujianto di Jalan Kali Biru, Desa Slorok, Kecamatan Kromengan ini menjadi favorit warga Malang Raya. Usaha yang dirintis oleh Mujianto dan istrinya, Musi’in ini punya ciri khusus, yakni babat (jeroan sapi bagian perut) berwarna hitam. Awalnya, banyak pelanggan yang merasa aneh tapi ternyata bikin mereka ketagihan. 
Berdiri sejak tahun 1990, Warung Soto Babat Pak Mujianto tetap eksis hingga saat ini. Pelanggan masih memburu makanan yang nikmat ketika disajikan dalam keadaan panas ini. Soto babat buatan Mujianto memang terkenal cita rasanya yang lezat. Warung soto milik Mujianto sudah dipercayakan pengelolaannya pada ketiga anaknya. Yakni, Luluk Ida, Bakti Riza Hidayat, dan Farid indiana.
”Sekarang kami yang meneruskan turut membantu menjual,” kata Bakti Riza Hidayat, anak kedua Mujianto. Bakti mengatakan, usaha dibangun mulai dari nol oleh bapak dan Ibunya. Awalnya hanya berjualan keliling dengan media gerobak dorong yang bertutup terpal. Namun lambat laun, karena mempunyai rasa yang enak, usaha ini terus berkembang. ”Bapak dan ibu yang jual, ya masih menggunakan gerobak dorong dari kayu jelek,” kata dia.
Warung soto ini sudah bertempat permanen yakni berlokasi di ruangan berukuran sekitar 7×6 meter dengan enam pegawai. ”Sekarang sudah tidak perlu panas dan kehujanan lagi saat berjualan,” kata Bakti.
Rahasia usaha kuliner keluarga ini selain karena cita rasa, juga karena pelayanan dari sang pemilik. ”Yang penting adalah ulet dan ramah saja dengan semua pelanggan,” kata Bakti. Menurut dia, anggap semua pelanggan adalah saudara sehingga mereka tetap senang dan nyaman berkunjung ke tempatnya untuk makan. Jika sudah begitu, tambah dia, lebih lanjut orang akan sering datang ke tempat tersebut.
Dahulu usaha ini hanya melayani anak sekolah dan sang guru yang mengajar di SMK PGRI Kromengan. Ya maklum, usaha ini tidak jauh dari sekolah tersebut dan bertempat di jalur utama Malang menuju Gunung Kawi. Usaha berada di jalan Kali Biru Desa Slorok Kecamatan Kromengan. Namun, karena sudah terkenal lama, pelanggan lain pun bermunculan. ”Ada yang hingga saat ini berlangganan, sejak dahulu sampai sekarang,” kata Bakti.
Mulai dari kelas pekerja, guru, PNS, dan kadang wisatawan yang sering mampir setelah atau saat akan ke Gunung Kawi. Namun, yang fanatik hingga saat ini, juga ada di antaranya orang Denmark dan Amerika Serikat. ”Ada warga negara asing yang menikah dengan orang Kromengan, setiap kali di sini (Kromengan), pasti mampir ke sini,” ujar Bakti. Awalnya, lanjut Bakti, orang asing heran dengan soto babat buatan orang tuanya. Heran bukan karena rasa, namun karena babatnya yang hitam. ”Lho ini makanan apa kok hitam seperti ini,” kata Bakti menirukan orang asing tersebut. ”Namun, setelah merasakan rasa sotonya, orang asing tersebut ketagihan. Mereka (orang asing) heran karena rasanya. Dan hingga saat ini malah menjadi pelanggan tetap. Setiap kali ke Kromengan, mereka pasti menyempatkan untuk mampir,” kata Bakti.
Pelanggan lain pun tetap bertahan dan pelanggan baru bermunculan. Menurut Bakti, justru pelanggan lama ini yang senantiasa mengingatkan. ”Kadang diingatkan dengan pelanggan lama, eling zaman dahulu saat masih susah saat berjualan keliling mendorong gerobak,” kata Bakti menirukan pelanggan.
Dengan kata-kata tersebut, dia menjadi ingat bahwa pelanggan harus dijaga dan dihormati. Sehingga karena sering sekali ramai, hampir setiap hari buka. ”Karena ada pelanggan yang sering kecewa, mereka datang jauh-jauh kami tidak buka dan sudah habis,” tandas Bakti. Karena itulah, hingga saat ini, usaha kuliner keluarga ini tidak pernah libur. Di warung soto babat Mujianto, hanya libur dua hari saat Idul Fitri dan setelahnya
rate bintang 3,7

Warung Bang Leo, Kuliner Tradisional Khas Arema Jl Trunojoyo, Kecamatan Klojen

Mencari tempat berjualan yang strategis di pusat Kota Malang memang sangat sulit. Butuh uang banyak agar mendapat tempat yang tepat. Warung Bang Leo, salah satu warung makanan tradisional Arema, berusaha eksis meski berada di tempat yang sempit.

Nama warung Bang Leo sudah tidak asing lagi di telinga kalangan anggota Polres Malang Kota, karyawan Pemkot Malang, maupun RSSA (Rumah Sakit Dr Saiful Anwar) Malang. Warung makan yang mulai dirintis tahun 1986 ini sudah menjadi jujukan para anggota polisi dan pegawai pemerintah pada pagi maupun siang hari. Berbagai menu tradisional ala rumahan, tersedia di warung makan yang tidak begitu besar ini.
Awalnya, warung ini buka di depan Hotel Kartika Graha dan dirintis oleh Ningsih, 46, dan Leo Kailola, 61. Warga Jl Jagung Suprapto Gang III Kota Malang ini merintis usaha tersebut karena himpitan ekonomi. Kondisi ekonomi rumah tangga yang kurang, membuat Ningsih pun mencoba keterampilan memasaknya.
Belajar dari teman, saudara, dan tetangga, Ningsih pun berhasil membuat berbagai olahan yang menjadi andalan warung. Resep hasil kreativitas sendiri tersebut, dia coba sebagai modal untuk membuka warung makan.
Menu makanan yang disiapkan, mulai sayur sup, bening, sayur asem, urap, dan trancam. Sedangkan, lauknya disiapkan juga di antaranya tempe goreng, tahu, ayam kampung, dan ikan laut. Semua menu dimasak dan mulai buka pada pukul 09.00. ”Dulunya memang coba-coba. Hasilnya, mulai banyak yang berdatangan dan banyak pula yang terus datang hingga menjadi pelanggan,” beber Ningsih.
Mulai tahun 1986 hingga 1992, Ningsih pun mendapatkan banyak pelanggan. Mayoritas pelanggannya dari anggota Polres Malang Kota, pegawai RSSA Malang, pegawai bank, hingga pegawai hotel. Tidak sedikit para pelanggan tersebut memesan makanan yang disiapkan dalam bentuk bungkusan.
Jumlah pesanannya pun beragam. Mulai dari 50 bungkus hingga 500 bungkus. Tergantung pemesanan untuk acara dan kegiatan apa. Sebab, tidak jarang instansi pemerintah dan swasta tersebut sering mengadakan kegiatan yang membutuhkan nasi bungkus yang banyak.
Sejak saat itulah, Warung Bang Leo berkembang pesat. Pelanggan lama maupun baru pun berdatangan. Mereka hanya ingin menikmati makanan tradisional rumahan khas Arema. ”Namanya bondo nekad, menunya seadanya. Eh, ternyata itu yang disenangi,” terang Ningsih sambil tertawa.
Hingga tahun 1992, Ningsih pun diminta pindah karena lokasi yang digunakan untuk berjualan akan dipugar untuk pengembangan usaha. Saat itu, Leo dan Ningsih pun mencari tempat di Jl Brigjen Slamet Riyadi, yang sekarang menjadi Hotel Trio Indah II.
polisi-lapsus-kulinerDi lokasi tersebut, Ningsih hanya bertahan dua tahun lamanya. Pemilik tanah juga akan membangun lahan tersebut untuk kepentingan bisnis. Leo yang mengontrak tempat itu pun akhirnya harus kembali pindah di Jl Basuki Rachmad. ”Walau pindah, pelanggan saya tetap setia. Mungkin lidahnya sudah cocok dengan resep masakan saya,” jelas Ningsih.
Di lokasi Jl Basuki Rahmat tersebut, Ningsih pun akhirnya juga bertahan dua tahun dan harus pindah tempat. Akhirnya, Leo dan Ningsih mendapat tempat di Jl Trunojoyo. Di bangunan milik PT KAI tersebut, Leo kontrak setiap tahunnya.
Di tempat tersebut, Leo pun membangun usaha kuliner hingga kini. Para pelanggan pun masih tetap setia. Kini, pelanggan juga bertambah banyak. Hanya saja karena kekurangan tenaga, masakan yang disiapkan terbatas. Ningsih berusaha belanja hari ini, harus habis hari ini juga. ”Belanja hari ini, ya harus habis hari ini juga. Jadi, masakan akan selalu segar,” jelas Ningsih.
sumber jawa pos radar malang
rate bintang 4

Susu Telur Madu Jahe (STMJ) Pak Sentot

Minuman susu telur madu jahe (STMJ) di Kota Malang bisa jadi paling tua di Kota Malang. Sebab, minuman ini sudah eksis di Kota Malang sejak 1974. Hingga kini, setiap malam melayani sampai 300 gelas susu per harinya.
Suasana di STMJ Pak Sentot yang terletak di Jalan Bareng Gang 4 pada Rabu (15/4) malam, sekitar pukul 21.30 tampak ramai. Seperti tidak ada berhentinya kedatangan para pelanggan. Hilir mudik pelanggan yang keluar dan masuk di warung yang terletak di dalam mulut gang ini tidak pernah sepi. Setiap ada pelanggan yang keluar, selalu disertai dengan pelanggan yang masuk.
Apalagi suasananya setelah hujan, hawa dingin tentu sangat cocok jika dinikmati bersama dengan satu gelas besar susu hangat yang dipadukan dengan perasan jahe dan madu serta telur ayam kampung. Namun, jika tidak familier dengan minuman ini, bisa memesan susu segar dengan campuran sedikit gula dan madu asli.
Di depan warung yang didirikan oleh (alm) Warli Sentot dan kini dikelola oleh anak pertamanya alias generasi kedua, Leman Sidarta, 41, terdapat satu unit rombong yang digunakan untuk berjualan. Di samping rombong itu terdapat kompor gas dua tungku yang apinya seolah tidak pernah padam. Tak jauh dari tungku tersebut, terdapat panci lurik dengan daya tampung mencapai 40 liter yang  terlihat penuh. Di sisi lainnya, terdapat tungku api yang sudah tidak digunakan lagi, menandakan kejadulan dari minuman ini.
Saat wartawan koran ini datang ke Warung STMJ Pak Sentot, lokasi banyak didominasi oleh kaum laki-laki. ”Memang yang banyak beli di sini adalah para laki-laki. Kalau pascahujan deras, semakin banyak yang membeli,” terang Leman.
Leman berkisah, pada awalnya mendiang bapaknya berjualan STMJ pada malam hari di sekitar lokasi yang kini menjadi eks Warung Pecel Kawi. Ceritanya, Sentot mendapatkan lokasi di sana karena menumpang di tempat bosnya, yang merupakan juragan susu segar. ”Saya tidak tahu nama bos bapak. Namun yang jelas, saat pagi hari tempat itu digunakan untuk berdagang susu, kemudian pada malam hari baru digunakan untuk berjualan STMJ,” jelas laki-laki yang berpenampilan khas memakai topi pet ini.
Menurut Leman, bapaknya melalui STMJ ini bisa dikatakan sebagai salah satu orang yang memopulerkan minuman yang dipercaya mampu membuat peminumnya tidur nyenyak ini. ”Sebab, pada tahun segitu masih belum ada yang jual minuman seperti yang bapak jual,” terangnya.
Minuman ini, menurut Leman, merupakan salah satu hasil kreasi dari bapaknya yang kala itu masih menjadi karyawan di toko susu segar. ”Bapak ingin membuat susu menjadi lebih nikmat dan lain dari yang lainnya,” tambah dia.
Bapaknya membutuhkan waktu kurang lebih satu tahun untuk menemukan racikan STMJ yang pas. Mulai dari meramu susu dengan perbandingan komposisi gula, teknik mengocok telur, hingga dengan jenis madu yang digunakan. ”Resepnya bapak eksperimen cukup lama. Hingga sekarang saya masih mempertahankan resep yang beliau ciptakan,” urai dia.
Karena masih menjadi minuman yang tergolong baru pada tahun 1970-an, tidak heran jika dagangan Sentot tidak serta merta ramai. Mangkal di sekitar Jalan Kawi mulai tahun 1974 hingga 1980, baru mulai ramai pada tahun 1980-an. ”Banyak orang yang bertanya-tanya ini minuman apa. Apa enak susu dicampur dengan telur ayam kampung,” imbuh bapak dua anak ini.
Sempat berpindah tempat mulai dari Jalan Kawi, kawasan Simpang Kawi mulai tahun 1980 hingga 1983, sekarang STMJ Pak Sentot sudah eksis di Bareng Gang 4 hingga sekarang dan sudah membuka cabang di kawasan Stasiun Kotabaru. 

Ayam Panggang Mbak Sri Jl Tangkuban Parahu, Kota Malang sejak 1970

Berkah dari kesetiaan mengabdi kepada majikannya, Sri Handayani, 56, dipercaya total meneruskan usaha warung ayam panggang (Alm) Nyik Sun. Sri sejak usia 15 tahun memang sudah membantu meracik bumbu ayam panggang. Karena tidak memiliki anak, dia mewariskan usahanya dan terus bertahan hingga kini.
Lokasi warungnya tepat berada di depan pintu masuk Stadion Gajayana, Kota Malang. Dengan mudah calon pelanggan menemukan warung yang selalu ramai setiap harinya ini. Penampilan warungnya sama dengan penampilan dari warung pinggir jalan pada umumnya.
Warung ini beratap tenda berwarna biru dengan jumlah meja dan kursi hanya enam pasang yang selalu dijejali oleh pembeli. Namun, jika pelanggan ingin menyantap aneka kuliner dengan lebih santai dapat juga duduk dengan lesehan. Untuk areal lesehan disediakan di depan pintu masuk stadion.
Di etalase warung Mbak Sri ini, ada beraneka ragam masakan. Mulai dari ayam panggang yang menjadi primadona, sate usus sapi, usus ayam, ati ampela sapi, bebek panggang, bali tahu, dan telur, juga ada sayur urap. Di belakang etalase tampak lima pekerja dari warung ini yang semuanya laki-laki, tampak sibuk melayani pembeli yang datang silih berganti.
kuliner Ayam Panggang Mbak Sri
Begitu juga dengan penerus ketiga dari warung ini, Abadi Sriono, 32. Abadi bertindak sebagai kasir yang menghitung pesanan semua pelanggan. ”Maaf baru bisa agak santai, dari tadi memang ramai,” jelasnya.
Abadi merupakan penerus ketiga dari Warung Mbak Sri. Dia bercerita, pada awalnya warung ini didirikan oleh Mak Nyik, majikan dari ibu Abadi, Sri Handayani, 56. ”Dulu ibu ikut memasak di Mak Nyik, sejak usia ibu 15 tahun,” cerita Abadi.
Sri sudah mengabdi kepada Mak Nyik alias Nyik Sun mulai dari tahun 1974. Saat itu, Sri mengabdi sebagai juru masak dari warung yang awalnya dikelola oleh Nyik Sun ini. Karena kepandaian dan keuletannya, tidak heran jika Sri dipercaya oleh Nyik Sun sebagai pemegang kunci rahasia dari resep legendarisnya. Menurut Abadi, berdasarkan cerita dari ibunya, hubungan antara Sri dengan Nyik Sun sangat dekat, kedekatannya bahkan melebihi saudara.
Bagaimana bisa Sri kemudian mengelola usaha warisan dari Nyik Sun ini? Abadi mengatakan, karena sudah menjadi orang kepercayaan dari Nyik Sun, maka ketika Mak Nyik sudah meninggal, usaha ini diwariskan kepada Sri. ”Nyik Sun tidak memiliki anak. Ibu saya adalah karyawan setia. Jadi ketika Nyik Sun meninggal tahun 1985, otomatis ibu saya yang meneruskan usaha ini,” jelas dia.
Pada mulanya kendati Nyik Sun sudah meninggal, Sri tetap meneruskan usaha kuliner yang awalnya berada di depan Kayutangan Gang 6. Namun, pada tahun 1990-an, sudah mulai berpindah tempat. Tepatnya di sekitar kolam renang dekat Stadion Gajayana. ”Dari 1995 berada di sana kemudian kami pindah lagi di sekitar stadion. Kemudian pada tahun 2005, kami menetap di lokasi yang sekarang,” beber laki-laki yang santai mengenakan kaus abu-abu ini, Rabu malam.
Warung ini buka cukup lama, yakni mulai dari pukul 17.00 hingga tengah malam, pukul 24.00. ”Setiap hari selalu buka,” tandas dia.
rate 4

Bakso Solo Kepanjen, Kabupaten Malang, Jujukan Favorit Warga dan Wisatawan

Membuka empat cabang Bakso Solo di wilayah Kabupaten Malang, bukan hal yang mudah. Sutanto, sang pemilik yang berasal dari Solo tersebut, memulainya dari nol. Awalnya, dia hanya bermodal pas-pasan, dia ingin membuka bakso seperti milik orang tuanya di Solo. Dia berhasil mengkreasikan resep bakso dari orang tuanya, hingga menemukan cita rasa yang lebih lezat. 
Bakso Solo Kepanjen milik Sutanto, pria asli Solo itu kini memiliki empat cabang di Kabupaten Malang. Warung bermarkas di Jl Raya A. Yani 38, Kelurahan Ardirejo, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang ini berkembang berkat rasa bakso dan kuahnya yang berbeda dengan bakso khas Malang pada umumnya. Sejak berdiri tahun 1996 hingga sekarang, Sutanto, 39, pemilik warung berusaha mempertahankan rasa tersebut.
Sebelum membuka usaha bakso di Kepanjen, Sutanto yang gagal ikut tes menjadi anggota TNI sebanyak dua kali itu ingin keluar dari kampungnya. Dia tidak ingin membantu orang tuanya yang membuka usaha bakso di kawasan Solo. Dengan modal pas-pasan, Sutanto pun merantau ke Malang tanpa ada tujuan yang jelas.
Berbekal uang Rp 2,5 juta, uang saku dari orang tuanya, anak pasangan Ngadi dan Ngatiem itu pun mengontrak rumah di Jl A. Yani 38 Kepanjen. Akhirnya, dia memutuskan membuka usaha bakso seperti yang dimiliki orang tuanya di Solo. Dia pun membeli perlengkapan untuk berjualan bakso. Dengan dibantu dua orang temannya dari Sukoharjo, pria yang sudah memiliki dua anak ini pun merintis usaha bakso.
Namun selama sembilan bulan jualan, belum ada tanda-tanda usahanya berkembang. Bahkan, Sutanto pun harus pergi ke Kota Malang untuk menjual cincin pemberian dari orang tuanya. ”Itu pun saya hanya punya uang Rp 500 perak dan hanya mampu sampai di Terminal Gadang. Di Terminal Gadang, saya gadaikan jam saya agar bisa naik mikrolet ke pasar besar untuk menjual cincin,” urai Sutanto.
Perjalanan menjual cincin itulah, Sutanto mulai menemukan banyak ide cemerlang. Resep yang dibawa dari Sukoharjo sepertinya butuh tambahan bumbu lagi agar lebih sedap. Selain itu, campuran tepung kanji harus di kurangi. Tujuannya, agar pentol bakso akan terasa lebih mantap.
Begitu juga dengan daging sapi yang akan dijadikan pentol. Hanya bagian paha yang dipilih. Sebab, bagian itulah yang dirasa cocok untuk dijadikan pentol. ”Dari keterpurukan itulah saya pun mulai bangkit lagi. Dan ternyata, bakso yang saya buat terus berkembang,” jelas Sutanto.
Melihat usaha yang terus berkembang itulah, Sutanto pun membuka cabang di Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang pada tahun 1998. Hanya saja, selama dua tahun, cabang baru tersebut masih belum memiliki banyak pelanggan. Hingga Sutanto pun harus menutup warung tersebut.
Suami Warastri Utami ini pun mencari tempat untuk mengembangkan usahanya. Dengan tekad dan keyakinan yang kuat, Sutanto pun memutuskan untuk membuka usaha di Jl Perusahaan 2 Karanglo, Singosari. ”Di warung kedua inilah bakso kami terus berkembang. Hingga kini, saya pun buka cabang di Pakisaji dan Kendalpayak,” beber Sutanto.
Dengan kombinasi antara resep dari Sukoharjo dan kreasi Sutanto, Bakso Solo Kepanjen pun kini memiliki pelanggan sendiri. Hampir setiap hari ada saja pelanggan baru yang datang. Mereka pun banyak yang menjadi pelanggan tetap Bakso Solo Kepanjen.
Agar rasa bakso tidak berubah, Sutanto yang mencampur sendiri olahannya. Adonan bakso tersebut dibuat di markasnya di Jl A. Yani 38, Kelurahan Ardirejo, Kecamatan Kepanjen. Setelah jadi, adonan dikirim ke cabang warung Bakso Solo Kepanjen untuk dibuat menjadi pentol bakso.
Dalam sehari, bakso yang dirintis Sutanto tersebut menghabiskan daging sapi hingga 120 kilogram. Daging tersebut dibeli dari pedagang daging di Pasar Kepanjen. Daging bagian paha yang dipilih karena memiliki tekstur daging yang bagus. Selain rasanya yang gurih, daging bagian paha sapi mudah untuk diolah. Daging yang masih segar tersebut akan dipilih untuk dua jenis bakso. Ada pentol bakso jenis kasar dan pentol bakso jenis halus.
Daging yang paling bagus akan dibuat bakso kasar. Rasanya pun juga lebih terasa dagingnya. Sedangkan untuk bakso halus, lebih sedikit kenyal tetapi tidak menghilangkan rasa baksonya. ”Kami pilah-pilah dulu, baru kami giling,” urai Sutanto.
baksosolo-lapsus-kulinerKarena memiliki mesin penggiling sendiri, Sutanto pun lebih leluasa untuk membuat adonannya tanpa takut resepnya dicuri. Bahannya daging sapi segar ditambah dengan bawang merah dan garam. Sedangkan untuk campuran, Sutanto memilih kanji yang bagus dan halus. Satu ons kanji untuk campuran 1 kilogram daging sapi.
Dengan campuran yang sedikit itulah, kualitas pentol pun menjadi lebih bagus. Karena itu, Sutanto sangat meminimalisasi campuran kanji ke daging sapi. ”Satu kilogram daging sapi hanya saya campur satu ons kanji untuk menghasilkan rasa daging yang sempurna,” jelas Sutanto.
Sedangkan untuk kuahnya, Sutanto pun sangat merahasiakannya. Sebab, bumbu pada kuah itulah yang menjadi rasa bakso lebih terasa. Bahkan sebelum disajikan, pentol langsung dimasukkan ke dalam dandang kuah. Tujuannya agar bakso menjadi lebih sedap.

Bakso Damas Soekarno-Hatta, Kota Malang Jadi Supplier Bakso di Papua

Berbekal skill saat menjadi karyawan gerai bakso Cak Man, Aryo Damas sukses membesarkan bakso miliknya sendiri yang dinamakan Bakso Damas. Bahkan, Damas hingga saat ini menjadi supplier bakso bagian dapur perusahaan tambang emas asal Amerika, PT Freeport Indonesia.
Proses yang dilalui Aryo Damas, 41, cukup berliku dan penuh perjuangan. Dia mendirikan Bakso Damas mulai dari nol. Awalnya, Damas merupakan karyawan Bakso Cak Man tahun 1989 sampai 1993. Waktu itu, dia berjualan menggunakan gerobak keliling di sekitar Jalan Kedawung.
Sembari berjualan, dia menyisihkan keuntungannya untuk modal berjualan bakso sendiri. Dengan komisi Rp 4.500 per hari, pria 41 tahun ini mengumpulkannya untuk membeli peralatan memasak bakso. Setelah panci, kompor, dan terakhir adalah sepeda kayuh (sepeda ontel), dibelinya pada tahun 1993, Damas mulai berjualan keliling sendiri dengan menggunakan sepeda dan rombong kecil di belakangnya.
kuliner bakso damasDua tahun berikutnya, satu gerobak tambahan dimilikinya untuk ditempatkan di pinggir Jalan Soekarno-Hatta (lokasi warung sekarang). ”Saya masih ingat pertama jualan di Soekarno-Hatta itu pada 31 Desember 1995. Jadi malam tahun baru. Tapi, jalannya belum seramai seperti sekarang. Karena dulu masih satu ruas jalan. Pelan-pelan ternyata bisa juga jadi warung seperti ini,” katanya.
Dulu, bapak dua anak ini mengaku mendapatkan untung Rp 20 ribu dalam sehari itu sudah senang bukan main. Karena dari sisi rasa, bakso ini hampir sama dengan kebanyakan bakso Malang lainnya. Tapi, cara Damas melayani pelanggan dengan ramah yang jadi kunci untuk menarik pelanggan. ”Kalau ditanya istimewanya bakso saya ini apa? Menurut saya biasa saja kok. Sama kayak yang lainnya. Saya ini hanya modal nekad, kerja keras, dan yakin saja,” ujarnya.  (iw/lia)

Pernah Gagal Pertahankan

Tahun 2007 lalu, Bakso Damas sempat memiliki tujuh cabang sekaligus (selain warung utama) di Malang. Cabang tersebut didirikan secara bersamaan oleh ownernya, Aryo Damas. Sebuah mobil Toyota Innova (kurang lebih Rp 150 juta) pun dijual sebagai modalnya.
Tapi sayang, mayoritas cabang itu hanya berusia tiga tahun. Karena hanya ada dua cabang yang masih tersisa sampai sekarang. Yaitu di daerah Ruko Tlogomas dan Jalan Ahmad Yani, Kota Malang. Sedangkan cabang lain di Araya, Jalan Jakarta, Galunggung, dan beberapa lagi yang lainnya tidak bisa bertahan lebih lama. ”Banyak karyawan yang keluar karena mereka ingin buka bakso mandiri. Sebagian juga sudah menikah tidak kembali lagi. Jadi, lumayan terasa ketika modal mobil nggak kembali,” gurau Damas.
Selain kegagalan mempertahankan cabangnya, bakso ini juga sempat gagal dalam inovasi produk makanannya. Karena tahun 2010 silam, warung ini sempat menyajikan menu bakso bakar. ”Waktu itu, bakso bakar lagi marak memang. Makanya saya juga ingin coba. Tapi, ternyata kurang diminati. Mungkin rezekinya memang di bakso biasa,” jelasnya. (iw/lia)
kuliner bakso damas2

Bakso Jumbo Paling Laris

Dari segi rasa, Bakso Damas memang tidak berbeda jauh dari bakso Malang pada umumnya. Meski demikian, pelanggan yang datang sampai saat ini terus meningkat. Dari beberapa pelanggan yang ditemui Jawa Pos Radar Malang, ternyata ada menu yang cukup populer di sini. Yaitu bakso jumbo (di Malang disebut pentol jumbo).
Bakso yang satu ini berukuran kurang lebih lima kali lebih besar daripada ukuran bakso normal. Meski ukurannya besar, rasanya tetap empuk dan sedikit kenyal. Aroma dan rasa dagingnya juga terasa di lidah. ”Bakso jumbo sebenarnya di beberapa tempat juga ada. Tapi, di sini lebih terasa enak saja,” kata Yullian Kusuma, pelanggan yang juga mahasiswa Universitas Brawijaya Malang.
Selain itu, pelanggan lebih senang memesan bakso jumbo dengan alasan lebih puas. Daripada mengambil lima bakso ukuran normal, lebih sering puas mengambil satu bakso jumbo. ”Habis satu ini saja sudah kenyang sebenarnya,” kata dia.
Dalam satu hari, rata-rata bakso jumbo yang dihargai Rp 10 ribu per bijinya itu tembus di angka ratusan. Itu belum termasuk yang dikirim ke bagian dapur PT Freeport Indonesia dan warung bakso di Timika. Pemilik Bakso Damas, Aryo Damas mengakui kalau yang paling laris tempatnya adalah bakso jumbo. ”Baik yang halus maupun yang kasar ternyata laris. Terutama yang kasar, saya memang sangaja masukkan daging paha ayam cukup banyak,” katanya.
rate bintang 3,6

Puthu Lanang, Celaket, Kota Malang Favorit sejak 1935

Dulu, sang ibu (alm) Soepijah membuka warung Puthu Lanang pada tahun 1935 di pinggir jalan setapak. Yakni di Jl Jaksa Agung Suprapto Gang Buntu, Celaket, Kota Malang. Warung yang pernah jadi jujukan tentara Jepang ini dikelola penuh oleh anak keduanya, Siswojo, 49. Kini, seribu porsi puthu lanang ludes setiap hari.
Sebelum mengelola bisnis jajanan tradisional puthu lanang ini, Siswojo, bapak dua orang anak ini berprofesi sebagai developer property. Namun, panggilan hati dan rasa ingin melestarikan kuliner jadul (zaman dulu) ini yang membuat Siswojo memutuskan untuk terjun penuh dalam mengelola bisnis warisan orang tuanya ini.
”Ternyata, saya merasa lebih tenang dengan mengelola bisnis ini dan tidak pernah membayangkan bisa setenang ini,” ujar Siswojo yang sudah 20 tahun mengelola warung ini. Sis mengakui sejak didapuk untuk meneruskan bisnis keluarga ini bukan malah senang dengan amanat yang diberikan ibundanya. Justru menurutnya beban. Sebab, tantangan yang dihadapi cukup besar. Yakni, mempertahankan nama besar dari usaha kuliner yang dirintis oleh ibunya, yaitu dengan menjaga mutu dan rasanya.
Apalagi ada anggapan jika usaha kuliner diteruskan oleh generasi kedua, maka rasanya tidak akan seenak generasi pertama. Nah, Siswojo ingin menepis anggapan itu. ”Kalau generasi berikutnya mengelola dan justru mundur, itu namanya kurang ajar. Alhamdulillah sejak saya kelola kenaikan pelanggannya mencapai seratus persen,” tegasnya.
Sis berkisah, dulu ketika ibunya mendirikan usaha ini pada tahun 1935, jalan di depan lokasi hanya berupa jalan setapak saja. Selain itu, beberapa pengunjungnya juga masih tentara Belanda. Setelah Jepang menang atas Belanda, kuliner ini juga digemari oleh tentara Jepang. ”Memang waktu itu kata ibu saya, ketika berjualan masih banyak tentara yang lewat di depan warung,” terangnya.
Jajanan pasar ini, dulu disebut Puthu Celaket saja. Sebab, lokasinya ada di sekitar Jl Jaksa Agung Suprapto atau yang lebih dikenal dengan nama Celaket. Namun, karena ada beberapa orang yang ’nunut populer’ dengan menggunakan nama Puthu Celaket dan mengatasnamakan sebagai cabang.
Sejak awal berdiri, kuliner legendaris ini sudah mampu memikat lidah ribuan bahkan jutaan pelanggannya. Dalam sehari saja, sekitar 1.000 porsi puthu, lupis, kelepon, dan cenil mampu terjual. Jika dilihat dari jalan besar, lokasi kuliner legendaris ini tidak begitu kentara. Sebab, letaknya agak masuk ke dalam mulut gang.
Kendati tidak begitu terlihat dari luar gang, tapi nama kuliner ini sangat terkenal. Bahkan, jika bertanya kepada para tukang becak saja, dengan mudah para abang becak yang ada di sekitar lokasi akan menunjukkan venue-nya.
Hampir setiap sore hingga malam hari, kuliner yang sudah ada sejak sebelum zaman kemerdekaan ini selalu dipadati pembeli. Bahkan tidak sedikit yang rela antre untuk mendapatkan seporsi cenil, lupis, kelepon,
dan tentu saja puthu ini. Harga untuk seporsi jajanan khas pasar ini cukup terjangkau, yakni Rp 10 ribu per 10 bijinya.
puthucelaket-lapsusAkhirnya pada tahun 2000 lalu, Siswojo mengganti nama kuliner ini dengan Puthu Lanang. Alasannya cukup lucu. Sebab, ada jajan pasar dengan nama puthu ayu, sehingga Siswojo  membuat ’tandingannya’ dengan memakai nama Puthu Lanang. Selain itu, pada saat nama itu dikukuhkan, seluruh cucu dari pendiri, (alm) Soepijah adalah laki-laki. Jadi, nama Puthu Lanang bisa diartikan sebagai putu lanang alias cucu lelaki. ”Kalau kami membuat nama puthu ganteng untuk menandingi puthu ayu, itu namanya narsis dong,” kata laki-laki yang akrab disapa Sis ini sembari tergelak.
rate bintang 4
Kini Sis berupaya menjaga agar nama Puthu Lanang tidak lagi dipakai orang untuk mendompleng ketenaran, pada tahun yang sama yakni 2000, nama ini sudah dipatenkan ke lembaga terkait. Sehingga tidak akan lagi ’ditiru’ orang dengan mengatasnamakan sebagai cabang dari Puthu Celaket. ”Untuk mematenkan nama dagang ini, saya dibantu oleh salah satu pelanggan. Namun sayang, saya lupa namanya,” terangnya. 

Warung Sate Kelinci Kota Batu yang Digandrungi Wisatawan

Banyaknya peternak kelinci yang menginspirasi Imam Syafi’i membuka Warung Sate Kelinci di Jl Patimura, Kota Batu. Karena sayang hanya untuk suvenir saja, maka Imam mempunyai ide untuk membuat sate kelinci. Ternyata, usahanya tidak sia-sia, hingga kini warungnya menjadi jujugan para wisatawan. 
Sudah 15 tahun, Warung Sate Kelinci berdiri di Jalan Pattimura, Kota Batu. Awal mula munculnya sate kelinci di Malang Raya juga berawal dari warung ini. Menurut Imam Syafi’i, pemilik Warung Sate Kelinci, dulu kelinci yang ada di Batu dijual pada saat berusia harian atau bahkan mingguan. Kelinci-kelinci ini menjadi suvenir wisatawan yang hendak meninggalkan Kota Batu. ”Sudah bisa ditebak kalau anak kelinci yang dijual itu akan mati dalam hitungan hari. Karena umumnya mereka belum bisa dipisah dari induknya. Kelinci yang masih kecil kan harus nyusu induknya,” katanya.
Dari situ Imam dan keluarga besarnya mengumpulkan modal mendirikan Warung Sate Kelinci. Apalagi bisnis kuliner bukan kali pertama digeluti Imam dan keluarganya. Sebab, keluarganya juga memiliki warung sate (bukan sate kelinci) sejak 1988. ”Dari pengalaman bisnis kuliner itu kami kembangkan ke Warung Sate Kelinci. Awalnya, yasayang kalau kelinci mati masih kecil. Lebih baik peternaknya baru menjual kelinci saat usia potong yakni usia enam bulan,” kata Imam yang mengelola bisnis ini sejak awal berdiri.
Ternyata, daging kelinci memang cocok juga disate. Saat pertama warung ini dibuka akhir Desember tahun 1998 pelanggan yang datang langsung membeludak. ”Kami buat sate dengan bumbu kacang seperti biasa. Tapi, kami buat sajiannya lebih menarik yaitu di atas hot plate yang biasa digunakan untuk steak agar satenya tetap hangat,” kata pria humoris ini.
rate bintang 3

Pecel Klojen, Asli Kota Malang Digemari

Bisa dibilang Pecel Klojen yang berlokasi di dalam Pasar Klojen ini, pecel khas Malang. Sebab, pembuat resep bumbu pecelnya adalah orang asli Malang. Dia adalah Misnati, 90, warga Jl Cokroaminoto, Kota Malang. Karena sudah berusia senja, warung pecel nenek Misnati ini kini dikelola oleh anaknya Mudjiasri, 58.
Resep bumbu Pecel Klojen adalah racikan orisinal Misnati puluhan tahun yang lalu. Tidak seperti warung pecel legendaris kebanyakan, yang penjualnya berasal dari Tulungagung atau Kediri. Pecel legendaris yang satu ini peracik dan pendirinya justru orang Malang asli. ”Kami ini orang Malang asli, rumah saya di depan pasar ini. Hingga sekarang tetap setia di sini,” jelas Mudjiasri, anak kandung Misnati yang sudah mengelola pecel ini selama 40 tahun.
Sri, sapaan akrab Mudjiasri, mengatakan, mulai remaja dia sudah terbiasa untuk membantu ibunya berjualan di warung pecelnya di dalam pasar ini. Namun, saat itu kegiatan membantu ibunya tersebut dilakukan sepulang sekolah. ”Dari belajar membantu ibu di warung. Lama-lama sudah bisa menjalankan usaha kuliner ini sendiri,” kata dia.
Sejak awal berdiri pada 1975 hingga saat ini, warungnya tidak pernah berpindah. Baik Misnati dan Mudjiasri tetap konsisten untuk menjalankan usaha ini. Sebab, meski lokasinya di dalam pasar, tapi sudah banyak menjaring pelanggan sehingga sayang jika harus meninggalkan lokasi yang sudah banyak dikenal ini. ”Sudah banyak teman yang mengenal lokasi ini. Nanti jika pindah dari sini takutnya justru membingungkan para pelanggan,” ujarnya.
Perempuan berjilbab yang masih enerjik di usia senjanya ini mengatakan, lokasi yang masih konsisten hingga 40 tahun juga menjadi kunci untuk menarik pelanggan. Terlebih bagi pelanggan setia, mereka umumnya datang untuk bernostalgia. ”Kebanyakan yang dari Malang ketika merantau pulang selalu mampir ke sini. Warungnya juga bisa membuat orang kangen. Tidak hanya pecelnya saja,” kata dia.
kuliner pecel klojen
Ketika dia ditanya, kapan akan pensiun bergelut dengan bisnis legendarisnya ini, Sri berharap dia tetap bisa menjalankan warung ini. Kendati usianya tak lagi muda, nenek satu cucu ini berharap tetap diberi kesehatan agar Pecel Klojen tetap eksis. ”Janganlah, saya inginnya tetap bisa melayani para pembeli dan pecinta kuliner ini,” paparnya.
Bagi Sri, warung ini sudah seperti rumah keduanya. Di tempat ini, dia tidak hanya mencari nafkah saja melainkan juga menjalin relasi dengan banyak orang. Tak heran, ketika 11 hari mulai pertengahan Februari lalu tidak berjualan, banyak pelanggannya yang kangen dengan masakannya. Sri menjelaskan, pernah tutup selama 11 hari karena sang ibu sedang sakit. ”Tutup lama-lama juga kasihan pelanggan saya. Tapi tidak apa-apa lah, bagaimana lagi, merawat orang tua itu adalah kewajiban anak. Rezeki sudah ada yang mengatur,” papar dia.
Lokasi Pecel Klojen juga tidak berubah mulai dulu hingga sekarang. Di Pasar Klojen, pembeli harus masuk ke dalam Pasar Klojen dulu. Namun, jangan dibayangkan menuju ke venue kuliner ini akan membingungkan. Sebab, dari pintu masuk pasar, pengunjung tinggal belok ke kanan sedikit dan bisa langsung menjumpai warung yang tidak ada tendanya sama sekali, juga tidak ada papan nama penunjuk.
Walaupun tidak ada papan atau nama warung, namun tidak akan tersesat. Sebab, para pedagang di pasar tersebut akan dengan ramah menunjukkan lokasi pecel ini. Warungnya juga bersih dan di samping lapak Sri, pelanggan dapat dengan mudah menemukan tumpukan daun pisang.
Karena bentuk fisik warung yang tidak memiliki tenda atau kain penutup, para pengunjung pasar dapat dengan leluasa menyaksikan kecepatan tangan dari Sri saat melayani setiap pembelinya. Ya, Mudjiasri atau yang lebih akrab disapa Sri ini adalah pengelola dari warung yang sudah berusia 40 tahun itu. ”Warung ini dulunya milik ibu saya, Misnati, 90,” kisah Sri sambil tangannya tetap cekatan dalam melayani pembeli.
Warung pecel ini setiap hari tidak pernah sepi dari  pembeli. Penggemarnya pun beragam, mulai dari rakyat biasa, pengusaha, hingga pejabat setingkat wakil bupati, wali kota, hingga gubernur.rate bintang 3,4

Sate Kambing Bunul Haji Paino

Sate merupakan salah satu makanan khas Indonesia. Di Malang ada banyak warung sate yang sudah familiar di telinga Anda. Salah satunya adalah sate kambing Haji Paino yang berada di Bunul. Kini, di tangan generasi kedua, Daryanto (anak kedua almarhum H Paino), warung sate ini semakin berkibar.
***
Warung sate kambing yang berlokasi di Jl Hamid Rusdi Timur 315 Kelurahan Bunul Rejo, Blimbing ini tidak pernah sepi. Setiap hari pelanggan datang silih berganti di warung yang memiliki halaman parkir yang tidak begitu luas ini. Tidak jarang para pelanggan harus parkir jauh dari warung agar bisa singgah untuk mencicipi menu olahan daging kambingnya.
Kondisi tersebut sudah terjadi sejak tahun 1973. Saat itu, almarhum Paino masih bujang dan membuka usaha sate kambing bersama dua orang yang masih kerabatnya, yakni (alm) Sampuri dan (alm) Kusnan. Uang yang berhasil dikumpulkan digunakan untuk modal membuka warung sate di Jl Kaliurang Kota Malang.
Usaha yang mereka bangun pun berkembang pesat. Hingga pada 1974, Haji Paino mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi almrhumah Sulikah. Sejak saat itu, keduanya mulai mencari tempat untuk membuat usaha sendiri. Membangun bisnis kuliner sate kambing di Kota Malang.
Keinginan keduanya pun akhirnya terwujud pada 1975. Haji Paino menemukan tempat di Jl Hamid Rusdi Timur. Lokasinya masih sepi dan banyak ditumbuhi ilalang. Namun itu bukan menjadi penghalang Paino untuk membangun bisnis kuliner. ”Kalau Abah (Paino) bilang kepada saya, dulu warung ini sangat kotor. Banyak ilalang. Abah yang membersihkan untuk dibuat usaha,” kata Yanto panggilan akrab Daryanto.
Selain kawasan tersebut masih banyak ilalang dan kotor, air bersih pun juga sulit didapat. Untuk mendapatkan air bersih, (alm) Paino harus mengangkatnya dengan jerigen sejauh lebih dari 100 meter setiap hari. Kerja dan tekad keras itu semata-mata untuk membangun bisnis kuliner yang diimpikan keduanya sejak lama.
Usaha pun terus berkembang pesat. Hingga pada 1997, Yanto pun diminta ikut terjun langsung membantu orang tuanya. Mulai memeriksa kambing yang akan disembelih hingga ikut membantu berjualan. ”Saya mulai bantu orang tua karena banyak pesanan. Saat itu, saya sudah kuliah di UMM Fakultas Psikologi,” urai Yanto.
Sejak dipercaya ikut mengelola bisnis keluarga itu, Yanto pun semakin bersemangat. Ikut memberikan masukan kepada orang tua mengenai manajemen bisnis. Selain itu, juga membantu pemasaran. ”Waktu itu sebenarnya saya banyak bertugas di luar. Sebab, memang sudah dipercaya oleh Abah untuk mengurusi yang bagian luar-luar saja,” ungkap pria yang sudah memiliki tiga anak ini.
Karena sudah memiliki penghasilan sendiri, Yanto pun memutuskan menikah pada 2000. Ufanuraini, yang dipilih Yanto sebagai pendamping hidupnya. Sejak saat itu, Yanto dipersiapkan orang tuanya untuk meneruskan bisnis sate kambing. ”Puncaknya pada 2005, sehari kami bisa menyembelih hingga 35 ekor kambing. Dan saya yang ikut turun langsung mengelola bisnis ini,” beber Yanto.
Hingga 10 tahun, Yanto digembleng untuk dipersiapkan sebagai generasi kedua pengelola bisnis sate kambing Haji Paino. Dan pada 2010, Yanto pun sepenuhnya mengelola usaha tersebut.
satebunul-kulinerBanyak inovasi yang dilakukan Yanto. Mulai membenahi manajemen hingga menambah menunya. Dari yang hanya sate dan gulai kambing, berkembang ke menu lainnya. Di antaranya, krengsengan kambing; tong seng; sup iga kambing maupun gulai kakat. ”Krengsengan kikil yang banyak peminatnya. Resep itu dari istri saya,” urai Yanto.
Hingga kini, usaha sate kambing Haji Paino pun terus berkembang. Banyak pelanggan yang meminta buka cabang. Karena itu Yanto pun membuka cabang di Jl Raya Randu Agung  62–64, Singosari, Kabupaten Malang.
Dari dua warung sate kambing tersebut, Yanto pun setiap hari harus menyembelih sedikitnya 25 hingga 30 ekor kambing setiap harinya. Dan itu belum termasuk saat ada pesanan. ”Rata-rata, setiap hari antara 25–30 ekor kambing yang kami sembelih,” terang Yanto.
rate bintang 3,8

Lalapan Pak Yanto Simpang Mega Mendung

Awalnya hanya coba-coba mencari peruntungan usaha warung, ternyata usaha yang dirintis Yanto, 56, kini banyak pelanggannya. Berbekal keahlian istrinya (Alm) Sulastri yang pandai memasak, warung lalapan yang berlokasi di Jl Simpang Mega Mendung ini digemari karena sambalnya yang mantap.

Sebelum buka warung makan lalapan, Yanto merupakan seorang tukang bangunan. Setiap hari kerjanya di proyek pembangunan rumah maupun gedung. Sedangkan (Alm) Sulastri istrinya hanya ibu rumah tangga biasa.
Hanya saja, sejak kecil, (Alm) Sulastri di lingkungan keluarganya dikenal pandai memasak. Terlebih membuat sambal sebagai pendamping lauk hidangan makan keluarga. Berbekal keahlian membuat sambal itulah, Yanto pun mendorong istrinya untuk mencari peruntungan baru membuka warung makan.
Terlebih di sekitar rumah mereka, banyak mahasiswa Unmer Kota Malang yang kos. Peluang usaha itu pun coba dijajaki oleh Yanto dan (Alm) Sulastri. ”Saya gunakan rumah mertua yang memiliki dinding dari anyaman bambu. Tidak besar tetapi bisa menampung pembeli,” kata Yanto.
Melihat hari pertama berjualan banyak peminatnya, Yanto pun memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya yang lama. Dia pun mulai membantu istri berjualan di warung. Hingga tahun 1997, krisis pun mulai melanda Indonesia. Semua bahan baku mulai merangkak naik.
Warung makan di Jl Simpang Mega Mendung No 39 Kelurahan Pisang Candi, Kecamatan Sukun, Kota Malang, memang tampak sederhana. Hanya sebuah ruangan yang berisi enam meja panjang dari kayu berjajar di dalamnya. Di setiap meja terdapat kursi plastik yang disiapkan di samping meja.
Yang membedakan dengan warung lainnya adalah pengunjung yang datang. Mulai pukul 08.00 hingga pukul 17.00, kondisi warung tidak pernah sepi. Selalu saja ada yang datang silih berganti untuk menyantap menu yang tersedia.
Mulai ikan lele goreng, ayam goreng, dan tempe goreng. Tiga menu itulah yang dijual oleh pemilik warung sejak 1993. ”Menunya hanya tiga macam sejak tahun 1993. Semuanya jenis lalapan. Terus kami pertahankan hingga sekarang. Pelanggan juga banyak yang suka dengan sambal kami yang beda. Kata orang, lebih mantap dibandingkan warung lainnya,” kata Yanto, 56, pemilik warung Simpang Mega Mendung.
Khusus sambal di warung lalapan milik Yanto, memang diracik sendiri oleh (Alm) Sulastri istrinya. Kala itu, Sulastri memilih terasi Pacitan, alasannya cita rasanya lebih kuat. ”Hingga sekarang, kami tetap memakai terasi khas Pacitan untuk mempertahankan kualitas rasa sambal,” ujar dia.
Satu porsi lalapan yang dulunya seharga Rp 500 harus dinaikkan karena menyesuaikan harga bahan baku. Saat itulah warung pun mulai sepi. Namun, Yanto dan istrinya optimis warungnya akan terus berkembang. ”Saya dibantu oleh saudara di sini. Hingga sekarang masih tetap banyak pelanggannya yang datang,” jelas Yanto.
Walau terus berkembang, Yanto tidak memiliki niatan untuk mengembangkan usahanya. Tetap berjualan di tempat yang sama. Terlebih sejak tahun 2008, bangunan warung sudah diganti dengan bangunan baru. Tidak lagi berdinding anyaman bambu tetapi sudah dari tembok.
Para pelanggan pun juga sudah merasa nyaman. Walau terlihat sederhana, banyak pelanggan dari dalam maupun luar kota yang datang. ”Kalau sudah merasakan sambal di sini, pasti akan datang lagi,” urai Yanto.
Dulu omzet per harinya dari hanya Rp 300 ribu kini melonjak hingga Rp 1,6 juta per hari. Jumlah pengunjung selalu meningkat saat akhir pekan, begitu juga saat hari libur.
rate bintang 3.6

Pecel Mbok Djo Jl Kalimantan

Sejak tahun 1973, Pecel Mbok Djo Jl Kalimantan ini hingga kini tetap menjadi jujukan warga Malang hingga luar kota. Sempat berpindah tempat hingga tiga kali, tapi pelanggannya tetap setia. Bumbu pecel resep asli Mbok Djo alias Galia ini pernah dibawa hingga 10 kg ke istana negara.
Pecel Mbok Djo ini merupakan usaha yang dirintis oleh (alm) Djolowo dan istrinya (alm) Galia. Pasangan suami-istri ini dari Blitar, yang pada tahun 1970-an merantau ke Kota Malang. Saat merantau ke Kota Malang, sepasang pasutri ini tidak memiliki pekerjaan hingga mereka memutuskan untuk membuat usaha kuliner pecel berbumbu khas di Blitar.
Salah satu kerabat penerus usaha kuliner legendaris ini, Anton Sugiyono, 37, awalnya Galia alias Mbok Djo dan suaminya berdagang dengan cara nyuwun (membawa barang di atas kepala) barang dagangannya di kawasan jalan kepulauan. Sejak awal berjualan, penggemar dari usaha kuliner ini berasal dari warga di sekitar Lapangan Sampo Kota Malang.
Sekitar tahun lima tahun pada 1972 hingga 1977, pasangan ini menjajakan dagangan ini dengan cara keliling dengan barang dagangan disunggi (di atas kepala). Sekitar tahun 1977, mereka berdagang di sekitar Jalan Saparua, Kota Malang. Sudah tidak lagi berkeliling, tapi juga masih belum memiliki lapak secara permanen. Berjualan di lokasi ini dilakukan hingga tahun 1989. Mereka berdua memutuskan untuk berjualan secara permanen di lokasi yang sekarang dan tidak pernah berpindah tempat hingga kini.
Pada 2006 sempat buka cabang di kawasan Griya Shanta Soekarno-Hatta. Namun, terpaksa tutup pada tahun 2008 karena pemilik lahannya berencana untuk menjual lahan. Menantu dari Mbok Djo atau penerus generasi kedua, Solikhah, 42, yang merupakan istri dari anak pendiri, H Marzuki mengatakan pada awal berdiri, Pecel Mbok Djo ini hanya beroperasi pada Rabu, Sabtu, dan Minggu saja.
Di luar hari itu, tidak berjualan. Alasannya, karena tenaga dua orang saja tidak mencukupi jika harus berjualan setiap hari. Akhirnya, pada tahun 2001, pecel ini bisa beroperasi setiap hari. ”Sejak saya yang mengambil alih, buka setiap hari. KarenaAlhamdulillah tenaganya mencukupi,” ujar Anton.
Sekarang usaha kuliner ini buka setiap hari kecuali Senin. Mulai dari pukul 05.30 hingga pukul 13.00. Pecel nikmat ini tidak pernah surut dari pengunjung. Bahkan, ketika sudah bukan jam sarapan pagi. Dulu berdiri hingga sekarang sudah eksis dengan membuka cabang di kawasan Sawojajar, penyajian pecel ini tetap menggunakan daun pisang yang dipincuk. Padahal, jika ingin praktis bisa dengan menggunakan kertas minyak saja. Namun rupanya, penyajian dengan daun pisang pincuk ini merupakan wasiat dari Mbok Djo. Sehingga penerusnya tetap menggunakan daun pisang. ”Karena sudah menjadi ciri khas dari warung ini. Jadi, kami tetap konsisten menggunakannya,” imbuhnya.
Sementara itu, Anton mengatakan, meskipun daun pisang susah didapatkan di pasaran karena musim kemarau, warung ini tetap menggunakan daun pisang. Bahkan, sampai harus mencari sendiri hingga ke daerah Wonokoyo, Kecamatan Kedungkandang. ”Kami meminta bantuan dari para kerabat, agar penyajian dengan daun pisang ini tetap terjaga meskipun ketersediaan daun sangat terbatas,” ujarnya.

rate 4